INSTITUTIONAL DISPUTES SETTLEMENT MECHANISM OF SUCCESSION IN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT SULTANATE

  • Iwan Satriawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
  • Faishal Aji Prakosa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Keywords: Institutional Disputes, Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate, Sultanah

Abstract

The Constitutional Court Decision No. 88/PUU-XIV/2016 grants a possibility for a woman to be a candidate for Governor and Vice-Governor in the Special Region of Yogyakarta. As the only province in Indonesia where the executive leaders are only able from the royal family of the Ngayogyakarta Hadiningrat, the decision then triggers a polemic among people in the region. This is due to the current governor, Sri Sultan Hamengku Buwono X, does not have a son as his successor to the throne. Thus, this paper reveals institutional disputes’ settlement mechanism in the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate if any disputes ever appear. The outcome finds that the Sultanate has yet clear mechanism of dispute settlement among the royal family and no official institution which possesses authority to settle royal disputes. Insofar, the Sultanate has had a customary law or paugeran adat in which a female figure might taking the throne to be the Sultanah and the governor of the province. Nevertheless, the authors recommend to establish an institution to settle royal disputes for the continuation of the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate.

Abstrak:

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 88/PUU-XIV/2016 meniscayakan adanya kemungkinan untuk seorang perempuan menjadi kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai satu-satunya pronvisi di Indonesia dimana pemegang kekuasaan eksekutif daerah hanya boleh berasal dari keturunan kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat, keputusan tersebut nyatanya memicu polemic diantara masyarakat di daerah. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya keturunan laki-laki dari gubernur atau sultan yang sedang menjabat saat ini, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk melanjutkan tahta kepemimpinan. Oleh sebab itu, artikel ini bertujuan untuk melihat mekanisme penyelesaian sengketa institusi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat jika terjadi sengketa. Hasil yang ditemukan adalah tidak adanya mekanisme penyelesaian sengketa di dalam Keraton serta tidak adanya institusi resmi yang dapat memutus dan menyelesaikan sengketa tersebut. Hingga saat ini, Keraton hanya menerapkan hukum adat atau paugeran adat dimana mengizinkan untuk seorang perempuan mengambil alih tahta dan menjadi seorang Sultanah sekaligus gubernur. Namun demikian, penulis menyarankan untuk tetap dibentuknya sebuah lembaga yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan sengketa antar anggota Keraton guna keberlanjutan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kedepannya.

Kata Kunci: Sengketa Institusi, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultanah

Published
01-04-2020
Section
Articles