PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita <p style="text-align: justify;"><img style="width: 146px; height: 205px; float: left; margin-left: 3px; margin-right: 3px; border-width: 1px; border-style: solid;" src="https://drive.google.com/uc?id=0B-GunNt7riGRTjJfaTE4Vkdxb3c" alt=""><span style="font-size: 14px;"><strong>PETITA: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah </strong>(ISSN-P <strong><a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/1455503074" target="_blank" rel="noopener">2502-8006</a></strong> ; ISSN-E <strong><a href="https://issn.brin.go.id/terbit/detail/1487819883" target="_blank" rel="noopener">2549-8274</a></strong>) is <span style="font-family: helvetica; font-size: small;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">law journal publishing research results, legal theory, legal philosophy, constitutional law, legal debate, socio-legal, and other recent issues relating to case law. The journal basically establishes to provide the debate on current law issues in Indonesia, having very dynamic law and has a lot of plural issues, such as on human rights, international laws, Sharia law, constitutionality of parliamentary products, law and politics, and election justice. </span></span><span style="font-family: helvetica; font-size: small;"><span style="font-family: helvetica; font-size: medium;">The articles from worldwide are considered to publish as long as fulfilling all of submission requirements. Petita, having printed ISSN: 2502-8006, as well as online edition with ISSN: 2549-8274, issued two times a year, April and November. The deadline submission for April period is in 28 February, and 30 September for November period. Since 2019, all articles have published fully in English.</span></span><br></span></p> en-US <p>Those authors publishing in PETITA have agreed with following terms of conditions:</p> <ul> <li class="show">Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution License that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this journal.</li> <li class="show">Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal.</li> <li class="show">Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work.</li> </ul> jurnal.petita@ar-raniry.ac.id (Piotr Czosnyka) Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 OJS 3.1.2.0 http://blogs.law.harvard.edu/tech/rss 60 FRONT COVER https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/312 Muhammad Siddiq Armia Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/312 Thu, 18 Apr 2024 14:29:06 +0000 INTRODUCTION https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/309 Muhammad Siddiq Armia; Huwaida Tengku-Armia, Muhammad Syauqi Bin-Armia, Robert K. Home Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/309 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 USE OF DIGITAL TECHNOLOGIES IN JUDICIAL PROCEEDINGS IN SOME COUNTRIES OF EUROPE AND THE USA https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/218 <p>The use of digital technologies in the judiciary is becoming an increasingly relevant topic in the countries of Europe and the USA because a new reality has emerged in the world that requires governments to systematically develop the information sphere, which means that the authorities must improve the relevant areas of national legislation and develop and implement large-scale state strategies, projects, programs, and other activities, in particular, in the field of electronic justice. New approaches are needed to solve problems in the field of justice, and the use of technology can help overcome these barriers through intervention. The purpose of this work is to study the use of digital technologies in the judicial systems of European and American countries in order to assess the advantages and disadvantages of such use as well as the possibilities of introducing the latest digital technologies into the judicial system. The article uses general scientific methods of analysis, methods of private law, in particular legal and comparative law, as well as special-structural and special-statistical research methods, axiological methods, hermeneutic methods, forecasting methods, historicism, and general philosophical methods. As a result, the issue of the possibility of achieving algorithmic justice and positions of non-discrimination in the judicial process was analyzed, as well as the need for a careful and balanced approach to various aspects of the justice system. The practical significance is that all countries should now use digital technologies instead of traditional paper communication to ensure better access to justice for companies, organizations, and other litigants.</p> <p><strong>Abstrak</strong>: Pemanfaatan teknologi digital dalam peradilan menjadi topik yang semakin relevan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, karena telah muncul realitas baru di dunia yang mengharuskan pemerintah untuk mengembangkan bidang informasi secara sistematis, yang berarti otoritas harus meningkatkan bidang legislasi nasional yang relevan dan mengembangkan serta menerapkan strategi, proyek, program, dan kegiatan negara skala besar lainnya, khususnya, di bidang keadilan elektronik. Pendekatan baru diperlukan untuk memecahkan masalah di bidang peradilan, dan penggunaan teknologi dapat membantu mengatasi hambatan tersebut melalui intervensi. Tujuan dari pekerjaan ini adalah untuk mempelajari penggunaan teknologi digital dalam sistem peradilan negara-negara Eropa dan Amerika untuk menilai keuntungan dan kerugian dari penggunaan tersebut, serta menganalisis kemungkinan memperkenalkan teknologi digital terbaru ke dalam peradilan. sistem. Artikel ini menggunakan metode analisis ilmiah umum, metode hukum perdata, khususnya hukum hukum dan komparatif, serta metode penelitian khusus-struktural dan khusus-statistik, metode aksiologis, metode hermeneutik, metode peramalan, historisisme, dan metode filosofis umum. Akibatnya, masalah kemungkinan mencapai keadilan algoritmik dan posisi non-diskriminasi dalam proses peradilan dianalisis, serta perlunya pendekatan yang hati-hati dan seimbang terhadap berbagai aspek sistem peradilan menjadi sorotan. Signifikansi praktisnya adalah bahwa semua negara sekarang harus menggunakan teknologi digital alih-alih komunikasi kertas tradisional untuk memastikan akses keadilan yang lebih baik bagi perusahaan, organisasi, dan pihak yang berperkara lainnya.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> &nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Peradilan Elektronik, Proses Perdata, Akses Terhadap Keadilan, Kecerdasan Buatan, Digitalisasi Sistem Peradilan</p> Andrii Shabalin; Olena Shtefan, Liliia Andrushchenko, Victor Olefir Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/218 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 CONSIDERING DEBT IN THE PERSPECTIVE OF MAQASID AL-SHARIAH: MASLAHAH VERSUS MAFSADAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/243 <p>Debt in Islamic tradition is accepted as an instrument to fulfill necessities for the needy.&nbsp; Islam has made it explicit that one of the trial for man is poverty or having inadequate resources to pursue his living.&nbsp;&nbsp; Therefore, debt is considered as an essential instrument that should not be dismissed for various reasons. Instead of viewing it negatively or as something immoral, Islam comes to regulate the practice by envisaging some rules and ethics and highlighting the appropriate measurement in the light of its impact. This article attempts to explore the Islamic perspective on debt by using <em>maqāṣid al-Shari’ah</em> (objectives of Shariah). In this perspective, debt will be analyzed based on the impact on <em>maslahah</em> (benefit) and <em>mafsadah</em> (harm) in fulfilling the necessities of life and improving welfare. This study uses library research by systematically review the literature from the references for a comprehensive analysis of the discourse. The classification of objective and impact of having debt, proposed in this study, can be a framework of analysis for the justification of debt.</p> <p><strong>Abstrak: </strong>Hutang dalam tradisi Islam dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dalam kehidupan manusia. Hutang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia karena berbagai alasan. Oleh karena itu, Islam tidak melarang atau memandang hutang secara negatif sebagai sesuatu yang tidak bermoral, Islam justru mengatur praktik tersebut dengan menerapkan beberapa aturan dan etika serta pengukuran yang tepat dalam kaitannya dengan dampak yang ditimbulkan. Artikel ini mencoba mengeksplorasi perspektif Islam tentang utang dengan menggunakan <em>maqāṣid al-Shari'ah</em> (tujuan Syariah). Dalam perspektif ini, hutang akan dianalisis berdasarkan dampaknya terhadap <em>maslahah</em> (manfaat) dan <em>mafsadah</em> (keburukan) dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan. Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan cara mengkaji literatur secara sistematis dari referensi untuk dilakukan analisis wacana secara komprehensif. Klasifikasi tujuan dan dampak memiliki utang yang diusulkan dalam penelitian ini dapat menjadi kerangka analisis justifikasi utang.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Hutang, Maqasid al-Syariah, Maslahah, Mafsadah</p> Zaki Fuad; Hafas Furqani, Roza Hazli Zakaria, Syamsul Idul Adha Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/243 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 THE RELEVANCE OF ISLAMIC PRINCIPLES IN ENVIRONMENTAL MANAGEMENT IN ACEH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/209 <p>Aceh has the power to modify its laws in line with Islamic law in compliance with the appropriate laws and regulations. The purpose of this essay is to study the environmental law concepts that apply to Environmental Managers under Qanun No. 2 of 2011. One of the principles is "Islamic," however the Qanun's content disregards this ideal, which is a concern. The goal of this study is to recreate the Qanun on environmental management in Aceh and establish a method of dispute resolution based on Islamic principles for those who commit environmental offenses. The methodology adopted is a normative juridical one based on rules and laws. In order to rebuild Qanun, Islamic law's requirements must be taken into consideration. This includes concretizing Islamic values in Aceh's environmental laws as a policy by using the lex specialist principle within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia. Due to the fact that Indonesian criminal law does not recognize peaceful conflict settlement, this study is obviously innovative.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Aceh memiliki wewenang untuk mengatur hukumnya sesuai dengan syariat Islam. Artikel ini hendak menelaah asas hukum lingkungan yang berlaku dalam Qanun No. 2 Tahun 2011 tentang Pengelola Lingkungan Hidup.&nbsp; Adapun salah satu asas adalah “keislaman”, namun permasalahan yang ditemukan yaitu substansi Qanun mengabaikan asas tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari bentuk penyelesaian sengketa sesuai asas keislaman dalam pengaturan hukum bagi pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagai rekonstruksi Qanun pengelolaan lingkungan hidup di Aceh. Metode yang digunakan adalah yuridi normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Hasil temuan penelitian asas keislaman belum secara konkret diuraikan sebagai satu substansi utama Qanun tersebut. Qanun membutuhkan rekonstruksi&nbsp; dengan memperhatikan ketentuan syariat Islam diantaranya konkritisasi asas keislaman dalam regulasi lingkungan hidup di Aceh sebagai suatu kebijakan dengan menerapkan asas lex spesialis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini memiliki kebaruan secara jelas karena penyelesaian sengketa dengan perdamaian tidak dikenal dalam sistem hukum pidana Indonesia.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Relevansi, Asas Keislaman, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Aceh</p> Muhammad Natsir; Fuadi, Darmawan, Zaki Ulya, Siti Sahara Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/209 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 FROM NON-PUNISHMENT TO BEING PUNISHED: ISTINBATH TAQNIN ANALYSIS OF ISLAMIC FAMILY LAW IN ACEH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/254 <p>The effort to positivate the Family Law Qanun (Ahwal Al-Syakhshiyah) which has been completed by the Aceh People's Representative Council together with the Aceh Government has become a polemic among academics, human rights activists, and some activists for the protection of women and children, especially when the discourse is in the mass media said Aceh will legalize the provision that husbands can have more than one wife in one of the articles of the Aceh Qanun Number 14 of 2019 concerning Family Law. Qanuns are formulated as the embodiment of the implementation of Islamic syari'at which has a juridical basis, mandate, and order of law Number 11 of 2006 concerning Aceh Governance. However, the pros and cons of issuing qanuns remain polemic. This writing reveals how the method of reasoning used by the parties involved in writing Islamic legal rules becomes a positive law. This writing analysis unit is an academic paper and draft of family law qanuns and Aceh Qanun Number 14 of 2019 concerning Family Law. The Taqnin process is identical to the legislative process as an ijtihad activity in compiling family law qanuns into positive law in the Indonesian legal system. The family law qanun reasoning uses ijtihad jama'i as the main method which is collaborated with the Istislahy, Sadduz Zari'ah, and 'Urf methods. The stipulation of some articles shall be guided by the principles of shari'a, fiqh mazhab, and adat. Article 181 Paragraph (1) and Paragraph (2) concerning uqubat are articles that occupy a strategic position, differentiating between Aceh Qanun Number 14 concerning Family Law and Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Compilation of Islamic Laws on Marriage especially from non pusnishment act to be punish.</p> <p><strong>Abstra</strong><strong>k</strong><strong>: </strong>Upaya positifikasi Qanun Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhshiyah) yang telah diparipurnakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh bersama Pemerintah Aceh menjadi polemik di kalangan para akademisi, pegiat hak asasi manusia dan sebagian kalangan aktifis perlindungan perempuan dan anak, terutama ketika wacana di media massa menyebutkan Aceh akan melegalkan ketentuan suami dapat beristeri lebih dari satu dalam salah satu pasal Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Hukum Keluarga. Qanun disusun sebagai perwujudan pelaksanaan syari’at Islam yang memiliki landasan yuridis, amanat dan perintah undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Namun pro kontra penerbitan qanun tetap menjadi polemik. Penulisan ini mengungkapkan bagaimana metode penalaran yang digunakan oleh para pihak yang terlibat dalam penulisan aturan hukum Islam menjadi hukum positif. Unit Analisis penulisan ini adalah naskah akademik dan draf qanun hukum keluarga serta Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2019 Tentang Hukum Keluarga. Proses Taqnin identik dengan proses legislasi sebagai kegiatan ijtihad dalam menyusun qanun hukum keluarga menjadi hukum positif dalam sistem hukum Indonesia. Penalaran qanun hukum keluarga menggunakan ijtihad jama’i sebagai metode utama yang dikolaborasikan dengan metode Istislahy, Sadduz Zari’ah dan ‘Urf. Penetapan sejumlah pasal berpedoman&nbsp; prinsip- prinsip syari’ah, fikih mazhab dan adat. Pasal 181 Ayat (1) dan Ayat (2) tentang ‘Uqubat merupakan pasal yang menempati posisi strategis, pembeda antara Qanun Aceh Nomor 14 Tentang Hukum Keluarga dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong>&nbsp;Istinbath, Hukum Keluarga, Hukuman, Aceh</p> Jailani Jailani; Zulfikar Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/254 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 LEGAL COMPLIANCE ON SHARIA ECONOMICS IN HALAL TOURISM REGULATIONS https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/224 <p>This article aims to analyze the form of legal compliance (sharia economics) in halal tourism regulations, with Bandung regency as the research subject. The background to this research begins with Bandung regency, which is the only region in West Java province that has regulations regarding halal tourism while other regions do not yet have them. So it is necessary to apply the concept of compliance with sharia economic law in halal tourism, which is a key factor in creating a business environment that is in accordance with Islamic principles. The method used in this research uses a normative juridical approach, with analytical descriptive analysis techniques, and uses Islamic service theory to answer research problems. The results of this research concluded that the practice or implementation of halal tourism business in Bandung regency according to sharia principles must refer to the regional regulations in force in Bandung regency and also refer to the West Java halal tourism guidelines, namely the inclusive and gradual principles . The findings of this research have implications for the importance of complying with sharia economic law in regulating halal tourism, the aim of which is to ensure that this industry not only complies with the rules of Islamic law but also makes a positive contribution to the economic and social development of society in accordance with sharia economic principles. Halal tourism will develop further if it is implemented in accordance with the needs of Muslim tourists, namely making the travel experience in line with their religious values.</p> <p><strong>Abstrak: </strong>Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bentuk kepatuhan hukum (ekonomi syariah) dalam Pengaturan pariwisata halal, dengan kabupaten Bandung sebagai subjek penelitian. Latar belakang penelitian ini bermula dari kabupaten Bandung adalah satu-satunya daerah di provinsi Jawa Barat yang memiliki regulasi tentang pariwisata halal sementara daerah lainnya belum ada. Sehingga diperlukan penerapan konsep kepatuhan hukum ekonomi syariah dalam pariwisata halal, dimana ini menjadikan faktor kunci dalam rangka menciptakan lingkungan bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Metode yang digunakan dalam riset ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan teknik analisis deskriptif analitis, serta menggunakan teori pelayanan islami guna menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa praktik atau penyelenggaraan bisnis pariwisata halal yang ada di kabupaten Bandung secara <em>maqashid syariah</em> harus mengacu pada Peraturan daerah yang berlaku di kabupaten Bandung, dan juga mengacu pada pedoman pariwisata halal Jawa Barat, yakni prinsip inklusif dan bertahap. Temuan penelitian ini berimplikasi pada pentingnya kepatuhan hukum ekonomi syariah dalam pengaturan pariwisata halal, yang mana tujuannya adalah untuk memastikan industri ini tidak hanya mematuhi aturan-aturan hukum Islam tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Pariwisata halal akan lebih berkembang jika dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan wisatawan Muslim, yakni menjadikan pengalaman berwisata yang sesuai dengan nilai-nilai agama mereka.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Kepatuhan Hukum, Hukum Ekonomi Syariah, Pariwisata Halal</p> Ending Solehudin; Hisam Ahyani Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/224 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 THE ROLE OF RELIGIOUS FATWAS IN INDONESIA: AN ANALYSIS OF SELF-GOVERNMENT AND BIOPOLITICS DURING THE PANDEMIC https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/257 <p>This study analyzes the role of religious fatwas issued by the Indonesian Ulama Council (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), and Muhammadiyah in supporting the Indonesian government's implementation of health protocols and vaccination programs during the COVID-19 pandemic. However, low compliance with some protocols and programs persists among segments of the Indonesian population. Understanding the impact of these religious pronouncements on compliance behavior is crucial for effective pandemic management. &nbsp;This study employs the concepts of self-government and biopolitics from Michel Foucault's perspective to analyze how religious fatwas issued by the Indonesian Ulama Council (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), and Muhammadiyah shape and influence the religious understanding of Indonesian society during the COVID-19 pandemic. It specifically focuses on fatwas related to pandemic protocols and vaccination programs, investigating how they address contestations within religious discourse. The analysis demonstrates that these institutions are aware of the need for religious narratives to be inclusive and adaptive to the challenges faced by Indonesian society. By integrating scientific knowledge into their pronouncements, fatwas from MUI, NU, and Muhammadiyah have played a crucial role in guiding religious awareness within the public sphere. This research concludes that, during the pandemic, religious fatwas can effectively position religious discourse and scientific knowledge proportionally, promoting public health and social cohesion.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh MUI, NU, dan Muhammadiyah dalam membantu pemerintah Indonesia dalam melaksanakan protokol kesehatan dan program vaksinasi selama era pandemi. Faktanya, tidak semua warga Indonesia patuh terhadap protokol kesehatan dan program vaksinasi yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Studi ini menggunakan konsep <em>self-government</em> dan <em>biopolitics</em> perspektif Michel Foucault. Kedua konsep tersebut digunakan untuk melihat bagaimana fatwa MUI, NU, dan Muhammadiyah dapat mengontrol dan mengarahkan pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia selama era pandemi. Fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh MUI, NU, dan Muhammadiyah memainkan peran penting dalam membantu pemerintah dalam menyikapi dan merespons kontestasi wacana keagamaan selama era pandemi di Indonesia. Ketiga lembaga ini menyadari bahwa wacana keagamaan selama era pandemi harus mempertimbangkan wacana medis. Dengan narasi keagamaan yang dianggap inklusif dan adaptif terhadap masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia selama pandemi Covid-19, fatwa dari MUI, NU, dan Muhammadiyah mampu membentuk dan mengarahkan kesadaran keagamaan masyarakat Indonesia di ruang publik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa fatwa-fatwa keagamaan, khususnya di era pandemi, mampu memposisikan wacana keagamaan dan pengetahuan saintifik secara proporsional.</p> <p><strong>Kata Kunci: </strong>Era Pandemi, Fatwa Keagamaan, MUI, NU, Muhammadiyah</p> Fathorrahman; Hijrian Angga Prihantoro, Nyak Fadlullah Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/257 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 CHALLENGES IN DOCUMENTING AND FORMALIZING CUSTOMARY COURT SYSTEM IN ACEH, INDONESIA https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/230 <p>In the customary justice system in Aceh, Indonesia, the study aims to resolve minor disputes within the community through consensus. Essentially, the resolution of customary disputes is informally conducted without formalization and documentation. However, as the legal landscape and society evolve, government regulations now require the formalization of dispute resolution through customary courts similar to state courts. This article discusses the challenges of formalization and documentation in the customary courts in Aceh, Indonesia. The article identifies three primary challenges to formalization and documentation in customary justice: first, the belief among some customary leaders that the case resolution process does not require formality and documentation due to infrequent complaints from the parties involved. Second, there is a lack of training among customary leaders in the formal legal process. Third, there is insufficient awareness and promotion of the formalization of customary justice. The article argues that formalizing customary justice is not merely a matter of regulatory compliance but requires socialization and training for customary leaders to implement formalization and documentation effectively</p> <p><strong>Abstrak: </strong>Sistem peradilan adat di Aceh, Indonesia bertujuan menyelesaikan kasus-kasus perselisihan kecil yang terjadi dalam masyarakat dengan jalan musyawarah. Pada dasarnya, penyelesaian sengketa adat dijalankan secara informal tanpa memerlukan formalisasi dan pendokumentasian. Bagaimanapun, seiring dengan perkembangan hukum dan masyarakat, pemerintah melalui regulasi mensyaratkan adanya formalisasi penyelesaian kasus melalui peradilan adat seperti pengadilan negara. Artikel bertujuan mengulas tantangan formalisasi dan pendokumentasian pada peradilan adat di Provinsi Aceh, Indonesia. Artikel menemukan tiga tantangan utama formalisasi dan pendokumentasian peradilan adat yaitu, pertama, anggapan sebagian perangkat adat bahwa proses penyelesaian kasus tidak perlu formal dan pendokumentasian karena jarang mendapatkan komplain dari para pihak. Kedua, perangkat adat tidak terlatih dalam proses pelaksanaan hukum formal. Ketiga, kurangnya sosialisasi terhadap implementasi formalisasi peradilan adat. Artikel berpendapat, formalisasi peradilan adat tidak cukup sekedar tertulis dalam regulasi, namun diperlukan sosialisasi dan pelatihan kepada pemimpin adat dalam melaksanakan formalisasi pendokumentasian tersebut.</p> <p><strong>Kata Kunci: </strong>Formalisasi, Pendokumentasian, Peradilan Adat, Aceh-Indonesia</p> Teuku Muttaqin Mansur; M Adli Abdullah, Muslim Amiren, Hasbi Ali Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/230 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 THE URGENCY OF SHARIA-CROWDFUNDING AS AN ALTERNATIVE FUNDING IN DEVELOPMENT OF NUSANTARA'S CAPITAL CITY https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/242 <p>The relocation of Indonesia’s National Capital from Jakarta to Nusantara, East Kalimantan requires a significant investment in the development process, which will be carried out in stages from 2022 to 2045. Sharia crowdfunding is an alternative financing that can be used as a source of funds in the development of the Capital City A new country, so the formulation of the problem in this study examines whether the urgency of Islamic crowdfunding as an alternative to financing the new National Capital. The research method used is normative juridical with two approaches, namely the statutory approach and the conceptual approach. The results of this study indicate that the urgency of sharia crowdfunding as an alternative to financing the National Capital can be seen from two things, namely: first, based on the theory of utilitarianism that sharia crowdfunding can provide good benefits for every individual who invests in this project through a sharia contract with a sharing system results, as well as benefits for common welfare in the context of supporting the development of the new National Capital. Second, in order to maintain assets (<em>hifz al-mal</em>) where through sharia crowdfunding the public can invest to help finance the new State Capital by accessing financing that is in accordance with sharia principles, such as the prohibition of usury (interest), speculation, and illicit activities other.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia yang sebelumnya berada di Jakarta ke Nusantara Kalimantan Timur membutuhkan biaya besar dalam proses pembangunannya yang dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2022 hingga tahun 2045. <em>Crowdfunding syariah</em> merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang dapat dijadikan sebagai sumber dana dalam pembangunan Ibu Kota Negara baru, sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini mengkaji tujuan dari <em>crowdfunding syariah</em> sebagai alternatif pembiayaan Ibu Kota Negara baru. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa urgensi <em>crowdfunding syariah</em> sebagai alternatif pembiayaan Ibu Kota Negara dapat dilihat dari dua hal, yaitu: pertama, berdasarkan teori utilitarianisme bahwa <em>crowdfunding syariah</em> dapat memberikan manfaat baik bagi setiap individu yang memberikan investasi dalam proyek ini melalui akad syariah dengan sistem bagi hasil, maupun manfaat bagi kesejahteraan bersama dalam rangka mendukung pembangunan Ibu Kota Negara baru. Kedua, dalam rangka memelihara harta (<em>hifz al-mal</em>) yang mana melalui <em>crowdfunding syariah</em> masyarakat dapat berinvestasi untuk membantu pembiayaan Ibu Kota Negara baru dengan mengakses pembiayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti larangan riba (bunga bank), spekulasi, dan kegiatan haram lainnya.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Crowdfunding Syariah, Alternatif Pembiayaan, Ibu Kota Negara.</p> Dyah Ochtorina Susanti; Aan Efendi, Auliya Safira Putri Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/242 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 THE FAMILY IMPACTS ON MINORS AS PERPETRATORS OF ACTS Of TERROR: EVIDENCE FROM INDONESIA https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/239 <p>This research aims to explore the influence of family on the behaviour of minors who commits acts of terror and propose efforts to prevent minors from becoming perpetrators due to family factors in Bulukumba Regency, Indonesia. The research employed empirical research method using a phenomenological approach. Findings indicate that the primary factor contributing to criminal behaviour among minors is the dysfunction of parental roles, including inadequate supervision and guidance. Additionally, inharmonious parent-child relationships, often exacerbated by parents' busy work schedules leading to reduced communication and increased time spent in negative social environments, are highlighted as significant contributors. Lack of education and community disengagement further compound the issue. Recommendations include focusing on education initiatives led by families, parents, and the broader community, strengthening family dynamics and engaging community leaders to address underlying causes of child crime, thus fostering a safer environment for children and communities.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh keluarga terhadap perilaku anak yang melakukan aksi teror dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah anak menjadi pelaku yang disebabkan oleh faktor keluarga di Kabupaten Bulukumba, Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama terjadinya perilaku kriminal dan penyebab kejahatan yang dilakukan oleh anak adalah tidak berfungsinya peran orang tua dalam hal mengawasi dan membimbing anaknya, disertai dengan hubungan yang tidak harmonis antara orang tua dan anak. Misalnya, ketika orang tua terlalu sibuk bekerja, mereka cenderung kurang berkomunikasi dengan anak, sehingga anak lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan salah memilih lingkungan pergaulan. Selain itu, faktor seperti rendahnya pendidikan anak dan masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan sekitar juga dapat menjadi penyebab terjadinya kejahatan pada anak. Tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi bentuk kejahatan teror yang dilakukan oleh anak terletak pada cara-cara mendidik anak yang dilaksanakan oleh keluarga, orang tua, dan masyarakat seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Aksi Teror, Anak di Bawah Umur, Keluarga, Pelaku</p> Rahman Syamsuddin; Andi Annisa A. Patra, Muhammad Ikram Nur Fuady, Muhammad Nur, Hasdiwanti Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/239 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 THE CONCEPTION OF PEOPLE'S SOVEREIGNTY IN INDONESIA: MOHAMMAD HATTA'S THOUGHT APPROACH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/221 <p>This study employs a doctrinal legal research method, employing a historical and conceptual approach, mainly focusing on popular sovereignty as articulated by Hatta, one of the nation's founding figures. Sovereignty of the people is a principle embedded in paragraph IV of the preamble to the opening of the 1945 Constitution. However, the concept of popular sovereignty developed in Indonesia diverges from the Western concept outlined by Rousseau. This research is doctrinal legal research using historical and conceptual approaches, mainly focusing on popular sovereignty as articulated by Hatta, one of the nation's founding figures. The findings of this research illustrate that the concept of popular sovereignty in Indonesia must be rooted in indigenous Indonesian cultures and characterized by a collectivist pattern. Here, collectivism is regarded as a means to accommodate the diverse regional characteristics of Indonesian population. Conceptually, the people's sovereignty adopted by the Indonesian state contains five principles grouped into two fundamental principles: the essential principle encompassing freedom and equality and the procedural principle governing the implementation of popular sovereignty, including the principles of majority vote, accountability, and territoriality. The principle of territoriality emerged from one of Hatta's aspirations for popular sovereignty, aiming to mitigate cultural nationalism and foster a bottom-up democracy that embraces the noble values inherent in Indonesian society.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Kedaulatan rakyat merupakan prinsip yang ditanamkan ke dalam alinea ke IV preambule pembukaan UUD 1945. Namun konsepsi kedaulatan rakyat yang dikembangkan di Indonesia merupakan konsep yang berbeda dengan yang dikembangkan di dunia Barat menurut ajaran Rousseau. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal dengan menggunakan pendekatan sejarah dan pendekatan konseptual yaitu gagasan kedualatan rakyat berdasarkan pemikiran Hatta sebagai salah satu tokoh pendiri bangsa. Di mana hasil penelitian menggambarkan bahwa konsepsi kedaulatan rakyat yang dikembangkan di Indonesia harus mengakar kepada kultur kebudayaan asli Indonesia yang bercorak kolektivisme, kolektivisme di sini dipandang sebagai cara untuk mengakomodir keberagaman masyarakat di Indonesia yang terikat dengan corak kedaerahan masing-masing. Secara konsepsi, kedaulatan rakyat yang dianut negara Indonesia memuat 5 prinsip yang dikelompokkan ke dalam 2 prinsip dasar yaitu prinsip esensial yang memuat prinsip kebebasan dan prinsip kesataraan, serta prinsip prosedural dari pelaksanaan kedaulatan rakyat yang memuat prinsip suara mayoritas, prinsip pertanggungjawaban, dan prinsip teritorial. Prinsip teritorial merupakan temuan yang dikembangkan dari salah satu cita-cita kedaulatan rakyat bagi Hatta yaitu menghilangkan nasionalisme budaya, sehingga demokrasi dapat berkembang secara button-up yang mengakomodir nilai-nilai luhur yang ada di dalam masyarakat Indonesia.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, Indonesia</p> Eza Aulia; Saldi Isra, Yuslim Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/221 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 ANALYSIS OF THE SCOPE OF HUMAN RIGHTS BASED ON THE HADITHS https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/282 <p>Some scholars and human rights activists outside of Islam have extensively expressed opinions and sharp criticisms regarding the Islamic way, particularly in the context of human rights. In their actions, many human rights activists outside of Islam have accused the Islamic world of human rights violations in countries implementing Islamic law (Islamic Sharia), such as in several Islamic nations. In several incidents like in Aceh, it has rapidly become apparent that Aceh is not lenient in upholding human rights in the enforcement of Sharia law, including punishments like flogging, stoning, and the cutting off of hands. This article aims to address the concept of human rights in Islam, especially in the sayings of Prophet Muhammad (PBUH), the scope of human rights concepts in Islam, and the coverage of human rights in the sayings of Prophet Muhammad. The research employs a document analysis method using the texts of the Qur'an and hadiths, utilizing a philosophical approach and analyzing through content analysis methods. The findings of this article can be summarized, including that Islam is a religion that advocates for human rights and vehemently opposes their violations. The scope of Islamic human rights is extensive, not confined solely to the human rights of individuals but also extending to the rights of creatures other than humans, such as animals, plants, structures, and the entire environment. Islamic human rights, as per the sayings of the Prophet, are not only applicable during times of war but also in peaceful conditions, such as in business and other interactions. Even in worship, human rights are regulated to ensure the preservation of the rights of every individual's body.</p> <p><strong>Abstrak</strong><strong>: </strong>Sebagian ilmuan dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di luar Islam telah banyak&nbsp; melontarkan pendapat dan kritikan pedas terhadap ajaran Islam khusus nya dalam persoalan HAM. Dalam aksinya, tidak sedikit pegiat HAM di luar Islam telah melancarkan tuduhan kepada dunia Islam, berupa pelanggaran HAM di negara-negara Islam melalui pelaksanaan hukum Islam (Syariat Islam) seperti di beberapa negara Islam, dan term asuk provinsi Aceh di Indonesia. Dalam beberapa peristiwa di Aceh khususnya telah berkembang dengan pesat bahwa Aceh tidak ramah HAM dalam penegakan hukum syariat seperti hukuman cambuk, Rajam, dan Had. Artikel ini bertujuan menjawab bagaimana konsep HAM dalam Islam khususnya dalam Hadis Nabi, bagaimana cakupan konsep HAM dalam Islam dan bagaimana cakupan HAM dalam Hadis Nabi Saw. Artikel menggunakan metode telaah dokumen yaitu teks al-Qur'an dan hadis, dengan pendekataan filosofis dan dianalisis dengan metode <em>content analysis</em>. Hasil telaahnya dapat dikemukakan bahwa Islam adalah agama yang ramah HAM, cakupan HAM Islam sangat luas berupa adanya perhatian kepada hak asasi makhluk selain manusia, seperti hewan dan tumbuhan, bangunan dan lingkungan secara keseluruhan. HAM versi Islam tidak hanya untuk diterapkan dalam perang, tetapi juga dalam kondisi aman, seperti dalam kehidupan berbisnis dan interaksi lainnya.</p> <p><strong>Kata Kunci: </strong>Hak Asasi Manusia (HAM), Islam, Hadis Nabi</p> Abd Wahid; Abdul Jalil Salam, Nuraini A Mannan, Lukman Hakim Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/282 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 A FRAMEWORK TO IMPROVE THE IMPLEMENTATION OF BUSINESS ETHICS IN ISLAMIC BUSINESS ORGANISATIONS https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/256 <p>This paper attempts to conduct a review of ethics in Islamic business entities by providing a conceptual framework of Islamic ethical values which is linked to the triple bottom line. This study uses a qualitative descriptive method to discuss these values based on the literature on Islamic ethics and Islamic business ethics. While some ethical values may be implemented similarly in both conventional and Islamic organisations, from the Islamic perspective, the spirit, process, and result become one single unit that must not violate Islamic principles. Humans are not judged solely by the result achieved but also by the process and effort (<em>ikhtiyar</em>). None of our activities should thus occur at the expense of other <em>mahluq</em>. The ability to measure the conformity of a company’s business activities with Islamic business ethics will show the extent to which it has implemented Islamic principles and affirm the organisation’s identity.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Paper ini mencoba melakukan tinjauan terhadap etika pada entitas bisnis syariah dengan memberikan kerangka konseptual nilai-nilai etika Islam yang terkait dengan <em>triple bottom line</em>. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang membahas nilai-nilai tersebut berdasarkan literatur etika Islam dan etika bisnis Islam. Meskipun beberapa nilai etika dapat diterapkan secara umum baik dalam lembaga konvensional maupun Lembaga syariah, namun dalam perspektif Islam, semangat, proses, dan hasil menjadi satu kesatuan yang tidak boleh melanggar prinsip-prinsip Islam. Manusia tidak dinilai hanya dari hasil yang dicapai tetapi juga dari proses dan usahanya (ikhtiyar). Oleh karena itu, tidak boleh ada aktivitas kita yang mengorbankan mahluq lain. Kemampuan mengukur kesesuaian kegiatan bisnis perusahaan dengan etika bisnis Islam akan menunjukkan sejauh mana perusahaan telah menerapkan prinsip-prinsip Islam dan menegaskan identitas organisasi.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Etika Bisnis Islam, Organisasi Bisnis Islam, Nilai-Nilai Etika, Triple Bottom Line</p> Peni Nugraheni; Syed Musa Alhabshi, Romzie Rosman Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/256 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 RESPONSIBILITY FOR EXCESSIVE INFRASTRUCTURE DAMAGE IN ATTACKS: ANALYZING RUSSIA’S ATTACK IN UKRAINE https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/213 <p>Armed conflict between Russia and Ukraine escalated in 2022 after Russian President Putin decided to conduct a "special military operation" to strive to "demilitarize" and "denazification" Ukraine; the attacks caused various casualties, such as urban residential areas, communication, transportation, including an air strike and bombing civilian objects. In international humanitarian law, states must respect and ensure respect for the rules governing the conduct of hostilities, which include the principles of distinction, proportionality, and precaution. These principles aim to minimize the impact of armed conflicts on civilian populations and infrastructure. This study delved into the critical issue of responsibility concerning excessive infrastructure damage during armed conflicts, with a specific focus on Russia's attacks on Ukraine. The analysis highlighted the grave consequences of such attacks, emphasizing the need for a comprehensive understanding of the parties involved and the applicable international laws. The research aims to understand the concept of state responsibility of the State under international law and analyze the legal responsibility for Russian attacks that caused excessive infrastructure damage from an international law perspective. The research used normative legal research with a library research approach; the author collected and processed secondary data used as the primary legal source. The results showed that Russia's attacks on Ukraine breached international law. The research also found the severe consequences of such attacks and emphasized the significance of understanding the involved parties and applicable international laws. Promoting peace and preventing future conflicts necessitate holding aggressors accountable for infrastructure devastation. This study underscores the importance of international cooperation and enforcement of measures to ensure stability and security on a global scale.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina semakin memanas di tahun 2022, setelah Presiden Rusia Putin memutuskan untuk melakukan "operasi militer khusus" untuk berusaha "demiliterisasi" dan "denazifikasi" Ukraina; serangan tersebut menyebabkan berbagai korban, seperti daerah pemukiman perkotaan, komunikasi, transportasi, termasuk serangan udara dan pengeboman infrastruktur sipil. Dalam hukum humaniter internasional, negara harus menghormati dan memastikan penghormatan terhadap aturan-aturan yang mengatur pelaksanaan permusuhan, yang meliputi prinsip-prinsip pembedaan, proporsionalitas, dan kehati-hatian. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk meminimalkan dampak konflik bersenjata terhadap penduduk sipil dan infrastruktur. Studi ini menggali isu kritis tentang tanggung jawab terkait kerusakan infrastruktur yang berlebihan selama konflik bersenjata, dengan fokus khusus pada serangan Rusia terhadap Ukraina. Analisis ini menyoroti konsekuensi serius dari serangan semacam itu, menekankan perlunya pemahaman yang komprehensif tentang pihak-pihak yang terlibat dan hukum internasional yang berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep tanggung jawab negara di bawah hukum internasional dan menganalisis tanggung jawab hukum atas serangan Rusia yang menyebabkan kerusakan infrastruktur yang berlebihan dari perspektif hukum internasional. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan penelitian kepustakaan, penulis mengumpulkan dan mengolah data sekunder yang digunakan sebagai sumber hukum primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan Rusia ke Ukraina telah melanggar hukum internasional. Penelitian ini juga menyimpulkan akan adanya konsekuensi serius dari serangan tersebut dan menekankan pentingnya memahami pihak-pihak yang terlibat dan bagaimana aplikasi hukum internasional yang berlaku. Mempromosikan perdamaian dan mencegah konflik di masa depan perlu menjadi tanggungjawab semua pihak, termasuk negara-negara yang melakukan serangan yang mengakibatkan kehancuran infrastruktur. Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya kerja sama internasional dan Langkah-langkah penegakan hukum untuk memastikan stabilitas dan keamanan dalam skala global.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> konflik bersenjata, hukum internasional, tanggung jawab negara, kejahatan perang</p> Yordan Gunawan, Mhd. Ervizal Rizqy Pane Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/213 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 MARINE SECURITY MODEL TO PREVENT CRIMINAL ACTS IN ACEH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/261 <p>Geographically, Indonesia occupies a strategically significant position at the crossroads of two oceans and two continents. Consequently, Indonesia's maritime territory has become a crucial maritime route for global trade and national and international shipping traffic. However, it is also highly vulnerable to maritime crimes, particularly in the Aceh region. Regarding maritime security in Indonesia, multiple agencies hold responsibilities in the security sector, with each agency operating under its legal framework defining its duties, functions, and authority. This research aims to elucidate the maritime security model of Aceh to prevent criminal acts at sea. This research employed normative and empirical juridical approaches. Research data consisted of primary and secondary data. The research findings reveal that Aceh is currently situated within the state border with other countries, directly accessible via sea routes. This situation requires special attention from the Central Government for several reasons. Firstly, data from the past six years (2018-2023) indicate seven recorded maritime crime cases occurring within the legal jurisdiction of Lhokseumawe City. Additionally, East Aceh has witnessed eleven criminal cases at sea, including acts of narcotics smuggling, goods smuggling, and human trafficking. In Sabang, seven cases have been reported, encompassing fisheries crimes, shipping crimes, and immigration crimes. Therefore, this study proposes a maritime security model to prevent criminal acts in the Sea of Aceh, termed the “Triangle security system”. This model involves a maritime security triangle comprising the Police, especially Polairud as a fundamental institution, supported by other law enforcement officers such as TNI AL, Bakamla, BNN, Customs and Excise Department and Immigration. Moreover, active engagement of the local community is deemed essential. It is recommended for the government to pay more attention to the conditions of areas directly bordering sea routes, enabling regencies or cities to understand state border management strategies. Additionally, regional governments should prepare plans and budgets for cities or regencies to manage their territories independently.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Secara geografis Indonesia mempunyai letak yang strategis antara persilangan dua samudera dengan dua benua, sehingga wilayah laut Indonesia menjadi alur laut yang sangat penting bagi jalur perdagangan dunia dan lalu lintas pelayaran nasional maupun internasional, namun juga menjadi wilayah yang sangat rentan terjadi tindak pidana laut khususnya di wilayah Aceh Dalam hal keamanan laut di Indonesia terdapat banyak instansi yang memiliki tugas di bidang keamanan, dimana masing-masing instansi tersebut memiliki dasar hukum tersendiri dalam melaksanakan tugas fungsi dan kewenangannya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkapkan model pengamanan laut Aceh guna mencegah tindak pidana di laut, Penelitian ini dilakukan dengan metode pendekatan yuris normatif dan yuridis empiris. Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Hasil penelitian adalah ditemukan bahwa saat ini Aceh yang termasuk dalam wilayah perbatasan negara dengan negara lainnya secara langsung dari jalur laut yang seharusnya menjadi perhatian khusus dari Pemerintah Pusat karena beberapa alasan yaitu; berdasarkan data 6 (enam) tahun terakhir (2018-2023) sudah tercatat 7 (tujuh) kasus tindak pidana laut yang terjadi di wilayah hukum Kota Lhokseumawe, 11 (sebelas) kasus tindak pidana di perairan Aceh timur diantaranya tindak pidana penyeludupan narkotika, penyeludupan barang dan perdagangan orang (human Trafficking); dan di Sabang berjumlah 7 (tujuh) kasus diantaranya tindak pidana perikanan, tindak pidana pelayaran, dan tindak pidana keimigrasian. Oleh karena itu penulis menawarkan model kemanan laut untuk mencegah terjadinya tindak pidana di laut aceh yaitu Triangle security system, yaitu segitiga Pengamanan perairan yang melibatkan Polisi khususnya Polairud sebagai fundamental institution, kemudian dibantu aparat penegak hukum lainnya seperti TNI AL, Bakamla, BNN, Bea Cukai, dan Imigrasi sebagai added institution, adapun peran masyarakat yang sangat dibutuhkan. Disarankan kepada Pemerintah baik pusat/daerah agar lebih memperhatikan kondisi daerah yang secara langsung berbatasan dengan jalur laut, agar kabupaten atau kota dapat memahami strategi pengelolaan perbatasan negara dan pemerintah daerah juga menyiapkan rancangan dan anggaran untuk kota atau kabupaten dapat mengelola secara mandiri wilayahnya.<br><strong>Kata Kunci:</strong> Kebijakan, Wilayah Perbatasan, Tindak Pidana Laut.</p> M. Gaussyah; M. Iqbal, Mukhlis Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/261 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 CO-PARENTING MODEL IN RESOLVING CHILD CUSTODY DISPUTES IN URBAN MUSLIM FAMILIES https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/277 <p>Post-divorce child custody (<em>hadhanah</em>) disputes in urban Muslim families often become prolonged conflicts, and children become undeniable victims. The problem is whether the shared parenting model for resolving post-divorce child custody disputes (<em>hadhanah</em>) in urban Muslim families through litigation (court) is effectively used? If effective, to what extent is it effective, and how is it practiced in the field? A shared parenting model can be created if scientists, practitioners, and other relevant parties comprehensively understand the resolution of <em>hadhanah</em> disputes through litigation. The application of this shared parenting model is still rarely used by judges in court decisions. However, it turns out that there have been several examples of implementing the shared parenting model in urban areas. Bandung City, DKI Jakarta, Semarang City, Madiun City, and others are among them. This article is juridical-normative research. This article uses qualitative data from a literature study. This method was chosen because the research object was dispute resolution activities in the care of children in urban Muslim families. Primary data comes from religious court decisions. Meanwhile, secondary data comes from library materials such as books, scientific articles, research reports, and websites. Research finds that resolving child custody disputes in urban Muslim families through litigation can be so effective that joint parenting can be created, provided that a comprehensive understanding is adapted to the existing problems in resolving child custody disputes. So that the judge’s decision is made based on real facts and for the sake of justice and the common good, especially to minimize children becoming victims in the long term.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Sengketa hak asuh anak (<em>hadhanah</em>) pasca perceraian pada keluarga Muslim urban sering kali menjadi konflik berkepanjangan dam anak menjadi korban yang tak terbantahkan. Permasalahannya adalah apakah model pengasuhan bersama (<em>share parenting</em>) untuk penyelesaian sengketa hak asuh anak (<em>hadhanah</em>) pasca perceraian pada keluarga muslim urban melalui jalur litigasi (pengadilan) efektif digunakan? Jika efektif, sejauhmana efektifitasnya dan bagaimana praktiknya di lapangan? Model pengasuhan bersama (<em>share parenting</em>) bisa tercipta jika ilmuwan, praktisi, hingga pihak yang bersangkutan lainnya memahami secara komprehensif penyelesaian sengketa <em>hadhanah</em> melalui litigasi ini. Penerapan model pengasuhan bersama ini masih jarang di gunakan oleh hakim dalam putusan pengadilan. Namun ternyata sudah ada beberapa contoh penerapan model pengasuhan bersama yang diputuskan di perkotaan. Di antaranya adalah Kota Bandung, DKI Jakarta, Kota Semarang, Kota Madiun, dan lainnya. Artikel ini merupakan penelitian yuridis-normatif. Artikel ini menggunakan data kualitatif dari studi literatur. Pemilihan metode ini didasari bahwa objek penelitian berupa aktifitas penyelesaian sengketa dalam pengasuhan anak keluarga muslim urban. Data primer berasal dari putusan-putusan pengadilan Agama. Sementara data sekunder berasal dari bahan pustaka seperti buku, artikel ilmiah, laporan penelitian, dan website internet. Penelitian ini menemukan bahwa penyelesaian sengketa hak asuh anak pada keluarga Muslim urban melalui litigasi dapat sangat efektif hingga pengasuhan bersama pun dapat tercipta dengan syarat pemahaman yang komprehensif disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam menyelesaikan sengketa hak asuh anak. Sehingga putusan hakim diambil berdasarkan realita, fakta, dan demi keadilan serta kemaslahatan bersama, khususnya untuk meminimalisir anak menjadi korban dalam jangka waktu yang panjang.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> <em>Hadhanah</em>, Hak Asuh Bersama, Perselisihan Keluarga, Keluarga Muslim Perkotaan</p> Ramdani Wahyu Sururie; Eva Nur Hopipah, Doli Witro, Rahmi Diana, Muhammad Sopiyan Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/277 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 DYNAMICS OF SHARIA LAW TAQNIN IN ACEH 2013-2017: ANALYSIS OF REGULATIVE POLICIES AND SOCIAL REALITY https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/286 <p>This study aimed to investigate the dynamics of Sharia law taqnin in Aceh between 2013 and 2017. There has been a significant shift in public discourse towards establishing Sharia-based written laws and regulations during this period, notably the Aceh Qanun. Aceh Governor Regulations, Circulars, and Instructions are the foundation for implementing Sharia. Derived from the Quran, Sunnah, and fiqh doctrine, Sharia law was formalized through legislation by the Aceh People's Representative Council (DPRA) into Aceh Qanun. The research employed the normative juridical method, utilizing conceptual and statutory approaches. Data sources included primary and secondary legal data and tertiary legal materials. The data analysis was juridical, and the results indicated that Sharia law taqnin in 2013-2017 led to the creation of seven Aceh Qanuns directly related to sharia implementation. These Qanuns, along with other laws and regulations formulated during that period, addressed sensitive issues such as the law of jinayat, jinayat procedure, and the establishment of laws regarding houses of worship. The formulation of these sensitive legal regulations sparked intense public discourse and debate, resulting in two opposing viewpoints. One perspective advocated for all Sharia teachings to be derived from the Quran, Sunnah, and fiqh doctrine and codified in written laws and regulations, arguing that the government should implement Sharia within the framework of the national legal system. The other perspective argued against the complete formalization of legal norms from the quran, sunnah, and fiqh norms in written rules, citing concerns about the potential violation of human rights by the state apparatus through the imposition of religious law. This research suggests that sharia law taqnin, as per Article 125 of the LoGA, is a response to the social reality of the Acehnese people's desire for comprehensive Sharia implementation. State involvement is necessary to realize the comprehensive implementation of Sharia in Aceh.</p> <p><strong>Abstrak</strong>: Penelitian ini bertujuan mengungkapkan dinamika taqnin hukum syariah di Aceh dalam rentang waktu 2013-2017. Dalam rentang waktu tersebut telah terbentuk narasi publik yang cukup tajam terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tertulis&nbsp; berbasis syariah yaitu&nbsp; Qanun Aceh, Peraturan Gubernur Aceh, Edaran Gubernur dan Instruksi Gubernur Aceh sebagai landasan pelaksanaan syariat Islam.&nbsp; Hukum syariah yang bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah, dan doktrin fiqh diformalkan melalui proses taqnin (legislasi) pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang melahirkan Qanun Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Sumber data terdiri atas data berbahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data yang digunakan adalah analisis yuridis. Hasil penelitian menemukan bahwa taqnin hukum syariah dalam rentang waktu 2013-2017 telah&nbsp; melahirkan&nbsp; 7 (tujuh) Qanun Aceh yang terkait laingsung tentang pelaksanaan syariat Islam. Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain yang dibentuk dalam rentang waktu tersebut dominan mengatur aspek sensitif seperti hukum jinayat, hukum acara jinayat, hukum pendirian rumah ibadah dan lain-lain. Perumusan aturan hukum yang bersifat sensitif ini telah melahirkan narasi dan diskusi publik yang tajam, sehingga melahirkan dua kutub pemikiran. Kutub pemikiran pertama, menghendaki agar seluruh ajaran syariah yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah dan doktrin fiqh dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tertulis.&nbsp; Alasannya, syariat Islam dilaksanakan oleh pemerintah dalam kerangka sistem hukum nasional. Kutub pemikiran kedua, norma hukum dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan doktrin fiqh tidak perlu seluruhnya diformalkan dalam aturan tertulis karena muncul kekhawatiran adanya pemaksaan hukum agama oleh aparatur negara, sehingga dapat berpotensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).&nbsp; Penelitian ini juga menemukan bahwa taqnin hukum syariah merupakan amanh dari Pasal 125 UUPA, dan sekaligus sebagai wujud respon dari realitas sosial masyarakat Aceh yang menghendaki pelaksnaan syariat Islam secara kaffah. Keterlibatan negara merupakan keniscayaan untuk terwujudnya pelaksanaan Syariat Islam secara menyeluruh di Aceh.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Taqnin, Hukum Syariah, Kebijakan Regulatif Dan Realitas Sosial</p> Syahrizal Abbas; Syarifah Rahmatillah, Jamhuri, Azmir Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/286 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 HAJJ HEALTH ISTITA'AH FROM THE PERSPECTIVE OF HEALTH DECENTRALIZATION https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/253 <p>This study aims to analyse the implementation of hajj health istiţa'ah at the district / city level. Based on Minister of Health Regulation Number 15/2016 concerning the Health istiţa'ah of hajj Pilgrims, the examination and health guidance of hajj pilgrims to meet the hajj health istiţa'ah has been mandated to the District/City hajj health organizing team. Hajj health examination and guidance at the first and second levels is not only the responsibility of individual prospective pilgrims, but also the government and the community. This study collected and analysed data using a qualitative legal approachh. The findings of this study identified both supporting and inhibiting factors affecting the implementation of hajj health istiţa'ah provisions. These factors are primarily associated with the absence of regulations at the regency/city level governing the organization of the Hajj. Most local governments have enacted regional regulations pertaining solely to Hajj transportation. In contrast, the security system for the Hajj in these areas relies solely on the technical guidelines provided by Permenkes No. 15/2016. This study highlights the critical need to enhance Hajj health istiţa'ah regulations by establishing district/city-level regulations.</p> <p><strong>Abstrak: </strong>Studi ini bertujuan menganalisis implementasi pemenuhan istiţa’ah kesehatan haji pada level kabupaten/kota. Berdasarkan Permenkes Nomor 15/2016 Tentang istiţa’ah Kesehatan Jemaah Haji, pemeriksaan dan pembinaan kesehatan jemaah haji supaya memenuhi istiţa’ah kesehatan haji telah diamanatkan kepada tim penyelenggara kesehatan haji Kabupaten/Kota. Pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji di level pertama dan level kedua bukan hanya menjadi tanggungjawab individu calon jemaah haji, melainkan pemerintah dan juga masyarakat. Dari data yang dihimpun dan dianalisis menggunakan pendekatan hukum kualitatif dalam studi ini dideskrispikan adanya faktor pendukung dan faktor penghambat implementasi ketentuan istiţa’ah kesehatan haji. Faktor-faktor itu berhubungan dengan minimnya pemerintahan daerah di tingkat kabupaten/kota yang memiliki peraturan penyelenggaraan haji di daerah. Mayoritas pemerintahan daerah hanya memiliki peraturan daerah tentang transportasi haji, sementara dalam sistem survielan kesejatan haji di daerah hanya mengacu kepada petunjuk teknis (Juknis) Permenkes No. 15/2016. Studi ini merekomendasikan pentingnya penguatan aturan istiţa’ah kesehatan haji yang diatur dalam regulasi daerah kabupaten/kota.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Istiţa’ah, Kesehatan haji, Desentralisasi</p> Muhammad Ishom; Muh. Abdurrouf, Ahmad Zaini, Ahmad Jamaludin Jambunanda Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/253 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 FAILURE OF CRIMINAL LAW IN RECOVERING STATE LOSSES DUE TO CRIMINAL ACTS OF CORRUPTION https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/244 <p>The effectiveness of recovering state financial losses resulting from acts of corruption remains below expectations. In 2022, the number of decisions observed by ICW significantly increased (2,056 decisions with 2,249 defendants). In 2022, the average prison sentence for corruption offenders in 2022 was 3 years and 4 months, amounting to a state expenditure of IDR. 48,786,368,945,194.70 (IDR. 48.786 trillion). This article aims to describe the failures of Indonesian criminal law to recover state assets and analyse the causes and consequences stemming from these shortcomings. This research was based on qualitative research by conducting legislative studies and literature studies. The results reveal a persistent failure to recover state financial losses, characterized by the increasing unrecovered losses year by year. This trend is attributed to a legal vacuum regarding retrieving state financial losses. The existing legal framework is deemed inadequate or insufficient to facilitate confiscating assets belonging to corruptors, thereby constraining judges in rendering appropriate sentences for the restitution of state losses. Consequently, this situation impedes equitable economic development and deters foreign investors, as ruling elites and conglomerates exploit resources to benefit certain groups. &nbsp;In conclusion, the current formulation of criminal law falls short in addressing the legal requirements for recovering state financial losses due to corruption. Therefore, it is recommended to expedite the passage of the Asset Confiscation Bill to rectify these deficiencies and enhance the effectiveness of anti-corruption measures.</p> <p><strong>Abstrak: </strong>Efektivitas pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi masih jauh dari harapan. Pada tahun 2022, jumlah putusan yang berhasil diamati oleh ICW bertambah secara fundamental, yakni 2.056 putusan dengan 2.249 terdakwa. Pada tahun 2022, pelaku korupsi rata-rata pidana penjara selama 3 tahun 4 bulan yang merugikan negara sebesar Rp.48.786.368.945.194,70 (Rp48,786 triliun). Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk kegagalan hukum pidana Indonesia dalam Upaya pengembalian aset negara serta menganalisis faktor penyebab dan akibat yang ditimbulkan akibat kegagalan hukum pidana dalam upaya pengembalian aset negara. Penelitian ini didasarkan pada penelitian kualitatif dengan melakukan studi perundang-undangan dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kegagalan pengembalian kerugian keuangan negara ditandai dengan semakin meningkatnya nilai kerugian negara yang tidak dikembalikan dari tahun ke tahun. Hal ini akibat dari kekosongan hukum yang dapat diterapkan dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara dikarenakan formulasi hukum yang berlaku sudah tidak relevan atau tidak dapat menjangkau untuk dilakukan perampasan aset koruptor sehingga hakim memiliki keterbatasan dalam memvonis kaitannya dengan pengembalian kerugian negara. Hal ini berdampak terhadap terhambatnya pembangunan ekonomi yang berkeadilan serta menghambat investor asing disebabkan penguasa bersama konglomerat menjadikan lahan untuk menguntungkan kelompok tertentu. Penelitian ini berkesimpulan bahwa formulasi hukum pidana tidak dapat mengakomodir kebutuhan hukum terkait pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi, sehingga direkomendasikan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Kegagalan Hukum pidana, Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Tindak Pidana Korupsi.</p> Amar Muammar Rahman; Muhammad Husnul Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/244 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 FLAGELLATION IMPOSED AS A SANCTION BASED ON THE ASPECT OF CHILD PROTECTION https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/276 <p>Aceh came up with a sharia-based compilation of penal law, Qanun Number 6 of 2014 concerning Islamic Criminal law. Qanun Jinayat (Islamic Criminal Law) governs the provisions regarding a child involved in <em>jarimah</em> (crime). Several principles set forth in the regulatory provisions of Qanun Jinayat differ from those in the national judicial system of juvenile crime. This study discusses the imposition of flagellation on children by Qanun Jinayat from the perspective of child protection. The study was conducted based on the socio-legal approach. The research result shows that flagellation imposed on a child contravenes the child protection principles in the national judicial system of juvenile crime. Flagellation is stipulated in Qanun Jinayat based on the consideration that it is the essence of punishment in Islamic law. However, Qanun Number 6 of 2014 concerning Islamic Criminal law should be reviewed according to the principles of child protection in the national judicial system to reach the objectives of legal protection for children, especially those facing legal disputes.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Aceh menetapkan kompilasi hukum pidana berbasis syariah, yaitu Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun Jinayat mengatur ketentuan mengenai anak yang terlibat dalam jarimah, dimana beberapa asas yang diatur dalam ketentuan pengaturannya berbeda dengan yang ada dalam sistem peradilan nasional pidana anak. Kajian ini membahas tentang perbedaan penanganan terhadap pelanggaran Qanun Jinayat oleh anak yang dikenakan deraan ditinjau dari aspek perlindungan anak. Kajian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sosio-legal dan sosio-yuridis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencambukan yang dilakukan terhadap anak bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dalam sistem peradilan nasional pidana anak. Pencambukan yang diatur dalam Qanun Jinayat didasarkan pada pertimbangan bahwa pencambukan merupakan inti dari hukuman dalam hukum Islam. Qanun Jinayat perlu dievaluasi dengan mengacu pada prinsip perlindungan anak dalam sistem peradilan nasional untuk mencapai tujuan perlindungan hukum pada anak khususnya yang menghadapi sengketa hukum.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Pencambukan, Sanksi, Perlindungan Anak</p> Nurini Aprilianda; Mufatikhatul Farikhah, Liza Agnesta Krisna Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/276 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 NORMATIVE JUSTICE AND IMPLEMENTATION OF SHARIA ECONOMIC LAW DISPUTES: QUESTIONING LAW CERTAINTY AND JUSTICE https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/279 <p>The academic problem stems from the outcomes of decisions issued by Religious Court concerning sharia economic disputes, which fail to meet the criteria of certainty and justice, both at the normative (<em>book in law</em>) and implementation (<em>law in action</em>) levels. The losing parties can only file objections for simple cases and submit an appeal, which contradicts the principle of direct justice (<em>speedy trial</em>). Therefore, This research aims to analyze this issue. The theoretical frameworks employed in this research include the theories of legal certainty and justice, <em>sulh</em> theory, and the theory of judicial power. The findings of the research demonstrate that for the decisions of judges regarding Sharia economic disputes in Religious Courts to meet the requirements of legal certainty and justice, they must adhere to Sharia principles, including: refraining from making things difficult (<em>‘adam al-haraj</em>), reducing burdens (<em>taqlil al-taklif),</em> periodically determining laws, and in line with universal benefit and ensuring equality and justice (<em>al-musawah wa al-ilah</em>). Additionally, the decisions of the panel of judges in examining, deciding and resolving the case are guided by government laws/regulations, Perma, KHES, and Islamic jurisprudence (<em>fiqh</em>) and the judge's <em>ijtihad</em></p> <p><strong>Abstrak:</strong> Problem akademik bermula dari hasil produk putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah, belum memenuhi unsur kepastian dan keadilan, baik dari tataran hukum normatif (<em>book in law</em>) maupun implementatif (<em>law in action</em>). Para pihak yang kalah hanya dapat mengajukan keberatan untuk perkara sederhana dan mengajukan banding. Sehingga hal tersebut bertolak belakang dengan asas <em>contante justitie</em> (<em>speedy trial</em>). Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tentang hal tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teori kepastian dan keadilan hukum, teori <em>sulh</em>, serta teori kekuasaan kehakiman. Hasil penelitian membuktikan bahwa hasil putusan Hakim berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama agar memenuhi unsur kepastian dan keadilan hukum harus merujuk pada prinsip syariah, meliputi : tidak mempersulit <em>(‘adam al-haraj</em>), mengurangi beban (<em>taqlil al-taklif</em>), penetapan hukum secara periodik, sejalan dengan kemaslahatan universal, dan persamaan dan keadilan (<em>al-musawah wa al-adalah</em>). Selain itu hasil putusan majelis hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tersebut dilakukan dengan merujuk pada Undang-undang/peraturan pemerintah, Perma, KHES, dan fiqh islam dan ijtihad hakim.</p> <p><strong>Kata Kunci: </strong>Keadilan Normatif Dan Implementatif, Sengketa Hukum Ekonomi Syariah, Kepastian dan Keadilan Hukum</p> Miftakhul Huda; Umi Sumbulah, Nasrulloh Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/279 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 EXAMINING THE BASIS OF MAQASHID SYARIAH IN RENEWAL OF ISLAMIC LAW IN INDONESIA https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/258 <p>Social transformations have propelled renewal of Islamic law in Indonesia along with the advancement of technology and science. This social change demands new laws that cater to human needs while preserving their religious essence. Therefore, the guiding principle in every exploration of Islamic law is comprehending the literal interpretations of the Quran and Sunnah. A reformer, including those in Indonesia, must be able to understand maqashid sharia<a name="_ftnref13"></a>, which entails understanding the purpose of the sharia design for the benefit of humans. This research aimed to capture the dynamics of Islamic legal reform in Indonesia by assessing role of maqashid sharia as a driving aspect behind this transformation. The study employed a qualitative approach, employing both empirical and normative methodologies. It examined the application of maqashid sharia theories in Indonesia's renewal of Islamic law. The findings reveal that the rationale of maqashid sharia has been extensively developed and implemented by Islamic scholars to reform Islamic law, both pre-and post-Indonesian independence. This indicates a familiarity among Indonesian scholars and society with maqashid sharia. Furthermore, the study demonstrates that decisions made through maqashid sharia reasoning in the context of legal reform in Indonesia have consistently accommodated societal changes across various legal, social, and economic domains without contravening overarching sharia principles. Consequently, legal reform initiatives in Indonesia have effectively realized the objectives of sharia in protecting religion, soul, intellect, property, and offspring. This is evidenced by enacting numerous regulations grounded in maqashid sharia reasoning that align with the needs of social and societal transformation.</p> <p><strong>Abstrak</strong>: Pembaharuan hukum Islam di Indonesia terjadi karena adanya perubahan sosial di dalam masyarakat seiring berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan.&nbsp; Perubahan sosial itu pada gilirannya menuntut adanya hukum baru yang didasarkan pada kebutuhan manusia tanpa merusak aspek keagamaan mereka.&nbsp; Karena itu koridor yang dipakai dalam setiap penggalian hukum Islam disampaing memahami makna literalis Al-Quran dan sunnah, seorang pembaharu termasuk yang ada di Indonesia harus mampu memahami&nbsp;maqasyid al-syari’at, yaitu tujuan syariat diturunkan hanya untuk kemaslahatan manusia. Penelitian ini berusaha memotret dinamika pembaharuan hukum Islam di Indonesia dengan melihat sejauhmana maqashid syariah berfungsi sebagai aspek pendorong dari perubahan itu.&nbsp; Penelitian ini bersifat kualitatif melalui pendekatan empiris dan normatif, yaitu dengan melihat teori-teori maqashid shariah yang diaplikasikan secara empiris di dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia.&nbsp; Dari hasil penelitian ditemukan bahwa penalaran maqashid syariah telah lama tumbuh dan dipraktekkan oleh para ulama dalam upaya pembaharuan hukum Islam, baik sebelum kemerdekaan Indonesia dan maupun setelah kemerdekaan Indonesia.&nbsp; Ini memberikan tanda bahwa ulama dan masyarakat Indonesia pada umumnya telah akrab dengan maqashid shariah.&nbsp; Temuan lainnya, bahwa ketetapan yang diambli melalui nalar maqashid shariah dalam konteks pembaharuan hukum di Indonesia telah secara konsisten mampu beradaptasi dengan perubahan sosial di Indonesia hampir di semua sektor, hukum, sosial, dan ekonomi tanpa menyalahi ketentuan syariah secara umum.&nbsp; Sehingga&nbsp; upaya pembaharuan hukum di Indonesia telah dapat mencapai tujuan syariat dalam menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Ditandai&nbsp; dengan lahirnya beberapa aturan yang disandarkan atas nalar maqashid shariah yang memang sesuai dengan kebutuhan perubahan sosial dan masyarakat.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Pembaharuan, Hukum Islam, Maqashid Sharia</p> Nasruddin Yusuf; Nurlaila Harun, Syarifuddin, Salma Mursyid Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/258 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 CHILDREN'S RIGHTS IN A QUASI-BROKEN HOME FAMILY: ISLAMIC LAW VERSUS CHILD PROTECTION LAW https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/284 <p><strong>Abstract: </strong>In contemporary society, numerous indicators of a quasi-broken home manifest within families. Consequently, communication between children and parents becomes disrupted, leading to disharmony within the family unit and fostering a tendency for children to exhibit rebellious behaviors. The objectives of this study are threefold: (1) to examine the rights of children within quasi-broken homes in the West Langsa District, (2) to analyze the perspectives of Islamic law and Law Number 35 of 2014 concerning the fulfillment of children's rights within quasi-broken homes in the West Langsa District, and (3) to identify the similarities and disparities between the perspectives of Islamic law and Law Number 35 of 2014 regarding the fulfillment of children's rights within quasi-broken homes in the West Langsa District. This research employed a normative, empirical approach, categorized as field research. Data collection methods included observation, interviews, and documentation. The findings reveal that three main findings. First, the implementation of children's rights within quasi-broken homes in the West Langsa District is inadequate due to parental work commitments. Second, Islamic law and Law Number 35 of 2014 align on several aspects concerning the fulfillment of children's rights, including the rights to life, education, voice, participation, identity, and inheritance. However, adequate protection from violence and provision of love and care are lacking due to parental busyness. Third, disparities between Islamic law and Law Number 35 of 2014 are evident in education. Islamic law advocates for worldly and religious education, while Law Number 35 of 2014 emphasizes education tailored to the child's abilities and interests. Moreover, Law Number 35 of 2014 extends the right of care to individuals beyond the parents.</p> <p><strong>Abstrak:</strong> Dalam masyarakat <em>modern </em>banyak ditemukan adanya gejala <em>quasi broken home </em>di dalam suatu keluarga. Hal tersebut mengakibatkan komunikasi antara anak dan orang tua menjadi terganggu, keluarga menjadi tidak harmonis dan sikap anak cenderung menjadi nakal. Tujuan dari penelitian ini ialah (1) untuk mengetahui hak anak dalam <em>quasi broken home </em>di Kecamatan Langsa Barat, (2) untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 terhadap praktik pemenuhan hak anak dalam <em>quasi broken home </em>di Kecamatan Langsa Barat dan (3) untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 praktik pemenuhan hak anak dalam <em>quasi broken home </em>di Kecamatan Langsa Barat. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif empiris dan jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (<em>field research</em>) dengan bentuk sosiologis. Untuk memperoleh data peneliti menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Adapun hasil dari penelitain ini menunjukkan bahwa (1) hak anak dalam <em>quasi broken home </em>di Kecamatan Langsa Barat tidak terlaksana dengan baik dikarenakan kesibukan orang tua dalam bekerja. (2) Persamaan perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 terhadap praktik pemenuhan hak anak dalam <em>quasi broken home </em>di Kecamatan Langsa Barat yaitu dimana dalam pemenuhan hak atas kehidupan, hak atas pendidikan, hak untuk bersuara dan berpartisipasi dan hak&nbsp; pemenuhan identitas dan warisan telah terpenuhi dengan baik. Namun, hak anak yang berkaitan dengan perlindungan dari kekerasan belum terpenuhi dengan baik dan hak anak yang berkaitan dengan pemenuhan kasih sayang dan perawatan yang juga tidak terpenuhi dengan baik karena kesibukan orang tua. (3) Perbedaan antara perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 praktik pemenuhan hak anak dalam <em>quasi broken home </em>di Kecamatan Langsa Barat terlihat dalam pemenuhan pendidikan anak dimana dalam hukum Islam bahwa pendidikan anak terdiri dari pendidikan formal yang bersifat keduniaan dan pendidikan keagamaan, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 hanya sebatas pendidikan yang disesuaikan dengan bakat dan minat anak. Selain itu, perbedaan lainnya terletak di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang juga menyebutkan hak anak atas kebolehan diasuh oleh orang lain selain orang tua.</p> <p><strong>Kata Kunci:</strong> Hak Anak, Hukum Islam, <em>Quasi Broken Home, </em>Hukum Positif.</p> Muharrani Muharrani; Zulkarnain, Miswari, Azwir Azwir, Mawardi Mawardi Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/284 Mon, 01 Apr 2024 00:00:00 +0000 BACK COVER https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/313 Muhammad Siddiq Armia Copyright (c) 2024 PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH https://petita.ar-raniry.ac.id/index.php/petita/article/view/313 Thu, 18 Apr 2024 14:42:02 +0000